sawunggaling

"Hayo !! Hayoo !! Hayo !!"

Teriakan beberapa pemuda mengejar seorang pemuda yg berlari menuju tanah lapang ,
dan lalu berhenti di tengah-tengah sambil sesumbar dengan suara yg keras.

"Hayo , kesini kalo berani ! Reang lari bukan karena takut sama kalian ,
tapi mencari tempat yg lapang. Hayoo ! Mumpung ada tempat yg lapang.
Maju kalo berani ! Biar reang hajar kalian sampai mati !"

Beberapa pemuda yg berdiri agak jauh saling berpandangan seakan ragu-ragu.
Bertepatan dengan seorang pemuda yg berusia lebih tua , bertubuh pendek dan gemuk melintas , yg segera melerai perkelahian yg hampir saja terjadi itu.

"Kang Markuat."

"Ada apa tho , Joko Bêrêk ?"

"Arek-arek itu lho kang , kurang ajar. Reang gak berbuat apa-apa diejek-ejek terus."

"Diejek gimana tho , Rêk ?"

"Gini katanya kang :
"Hoii Joko Bêrêk , arek nggunung mucuk , arek ndesa mlosok , arek gak punya bapak." "

"Hmmm , kalo gitu ya gak salah teman-temanmu. Yg salah itu pakde mu Wongsodrono"

"Lho , rika koq malah mbelani arek-arek , kang Markuat ?"

"Bukan mbelani Rêk. Kamu itu sebenarnya punya bapak , sekarang ini ada di kota Surabaya."

"Ooo . jadi sebenarnya reang masih punya bapak , ya kang ?"

"Heeh , malah kamu itu bukan anaknya orang sembarangan , Rêk.
Begini . . . kalo kamu kepengen ketemu dengan bapakmu yg sejati ,
kamu pamitlah dengan pakdhe , mbokdhe dan yung Sangkrah ,
katakan kalo kamu mau ke Surabaya untuk mencari bapakmu."

"Gitu ya , kang Markuat ?"

"Iya , Rêk. Nanti kalo pamitmu dapat idhi (restu) dari orang tuamu ,
berangkatnya sama-sama dengan aku."

"Rika juga mau ke Surabaya , kang ?"

"Heeh , aku mau ke Surabaya mencari Kancil , mau nagih uangnya wedhus."

"Waah , kalo gitu kebeneran sekali , kang. Sekarang reang pamitan dulu sama yung Sangkrah.
Didadhunga bakal dak pedhot , dipalangana bakal dak lumpati ,
boleh gak boleh reang akan tetep pergi ke Surabaya."

"Iya , Rêk. Nanti aku tunggu kabarnya."

"Iya kang , reang pulang dulu. Doakan semoga diijinkan ya kang."

"Iya , Rêk. Semoga pamitmu diidhini."


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Dewi Sangkrah yg tengah duduk di ruang tengah , menampak kesedihan di raut wajahnya.
Ki Buyut Suruh , yg dikenal sebagai Ki Demang Wongsodrono dan istrinya ,
orang tua Dewi Sangkrah , mendekati dan menanyakan apa kabut yg menyelimuti hati anaknya.

"Sangkrah anakku."

"Iya, mak."

"Kulihat sejak tadi kamu seperti sedih hati. Apa tho yg kamu susahkan ?"

"Lha iya sih , mak. Siapa yg gak sedih kalo jadi seperti diriku ini.
Joko Bêrêk sudah besar , tapi nakalnya semakin menjadi-jadi."

"Sudahlah , kamu jangan terlalu menyedihkan hal itu."

Nyi Buyut suruh lalu berkata pada suaminya.

"Coba tho kang , Joko Bêrêk itu dinasehati."

"Kurang golek , entek ngamek aku menasehati cucumu itu."

"Krah . . ."

"Iya , pak."

"Makanya kalo anakmu itu kluyuran itu dicegah , kalo dolan dengan temannya juga dicegah.
Masa' setiap kluyuran , pulang-pulang karena berkelahi.
Setiap dolan (pergi bermain) dengan temannya , ya berkelahi.
Aku sampe cape hati merasakan anakmu itu . . . . ."

Belum selesai Ki Demang Wongsodrono berbicara terpotong oleh kedatangan Joko Bêrêk ,
yg rupanya masih dikejar oleh lawan-lawan berkelahinya tadi.

"Hayo !! Kesinilah kalo berani , mumpung ada pakdhe ini."

"Ada apa sih kamu ini , Joko Bêrêk ?"

Nyi Demang segera bertanya.

"Reang habis berkelahi dengan arek-arek itu lho dhe."

"Oallah , nak. Kamu ini mbok ya jangan bertengkar , jangan berkelahi ,
gak baik kalo dilihat orang , nak."

"Lha gimana , reang gak memulai tapi digara-garai , diejek-ejek."

"Diejek gimana ?"

Tanya Ki Demang.

"Gini dhe ,
"Hoii Joko Bêrêk , arek nggunung mucuk , arek ndesa melosok , arek gak punya bapak.""

"Siapa yg bilang gitu ?"

"Itu si Jimin."

"Jimin siapa ?"

"Jiminnya Jiman itu lho dhe."

"Bisa aja arek-arek itu."

"Sini , nak. Jangan bertengkar , jangan mukuli anaknya orang , nanti ditegur orang tuanya."

Kata Nyi Demang sambil merangkul cucunya , yg mulai dewasa ,
dan mengenal Ki dan Nyi Demang sebagai pakdhe dan mbokdhe-nya.
Dewi Sangrah yg sejak tadi diam saja , lalu berkata dengan nada sedih.

"Kamu itu anaknya orang miskin , ya cung. Jangan nakal-nakal , jangan suka berkelahi.
Kalo kamu punya kelakuan yg seperti itu , aku gak tahu musti gimana lagi , nak."

"Biar aja yung. Reang malu , sejak dulu gak pernah biyung tunjukkan bapak reang."

"Siapa yg ngomong gitu ?"

Tanya Nyi Demang.

"Kata arek-arek reang gak punya bapak , khan malu reang."

"Lha ini khan bapakmu !"

Kata Nyi Demang sambil menunjuk suaminya , yg segera pula ikut menimpali.

"Lha aku ini khan bapakmu , cung."

"Wah bukan ! Bukan ! Reang nggantengnya gini sedangkan pakdhe kayak Bagong gitu."

"Pakdhemu itu gak kayak Bagong , . . tapi kayak Togog."

Nyi Demang menyahut.

"Iya , wong pakdhe ini khan keturunannya wayang , tambah lama tambah gepeng."

"Reang terlanjur malu di desa , reang mau ke Surabaya saja , mencari bapak reang."

Demi mendengar omongan anaknya , Dewi Sangkrah tak lagi kuasa menahan tangisnya.

"Oallah nak , Joko Bêrêk. Kamu koq malah menanyakan hal seperti itu tho , cung."

"Beritahukan saja yg sebenarnya , Krah. Anakmu tambah tahun tambah dewasa."

Sambil mengelus-elus bahu Dewi Sangkrah , Nyi Demang berkata.

"Siapa sih yg memberitahu kalo bapakmu di Surabaya ?"

Tanya Ki demang pada Joko Bêrêk.

"Reang diberitahu kang Markuat , kalo bapak reang ada di Surabaya."

"Markuat itu bisa-bisa aja."

"Kasihan anakmu , Krah.
Beritahukan siapa bapaknya yg sebenarnya , anakmu sudah tambah ngerti."

Dewi Sangkrah masih menangis terisak-isak.
Ingatannya melayang pada bertahun-tahun silam ,
terbayang ketika ia sedang mencuci pakaian (umbah-umbah) di rawa Wiyung ,
dan bertemu dengan Tumenggung Jayengrono yg sedang berburu di alas Lidah Danawati.
Sang Tumenggung jatuh kasmaran pada gadis ayu putri Ki Demang Wongsodrono ,
lalu menjadikannya sebagai garwa ampil (selir) tanpa membawanya ke katumenggungan.

Tumenggung Jayengrono yg sudah mempunyai dua orang anak , Sawungrono dan Sawungsari ,
memberi cindhe puspita sebagai kenang-kenangan dan tanda bukti ,
untuk jabang bayi yg berada dalam kandungan ketika ia kembali ke katumenggungan.

Kelahiran si jabang bayi ditandai dengan ndaru cumlorot yg jatuh ke rawa Wiyung ,
dan menyebabkan ikan-ikan mati dengan keadaan badan yg rusak ( bêrêk ) ,
maka si jabang bayi putra Tumenggung Jayengrono itupun diberi nama Joko Bêrêk.


"Iya , yung. Beritahukan saja yg sebenarnya , bapak reang ada di mana ?"

Dewi Sangkrah memandangi kedua orang tuanya seakan meminta persetujuan ,
Ki dan Nyi Demang mengangguk , menyetujui untuk memberitahu Joko Bêrêk.

"Joko Bêrêk . . ."

"Iya , yung."

Joko Bêrêk segera duduk bersimpuh dekat kaki ibunya.

"Kalo memang kamu benar-benar ingin bertemu dengan bapakmu yg sejati ,
akan kuberitahukan di mana tempat beradanya orang tua lelaki-mu."

"Iya , yung."

"Kamu pergilah ke kota Surabaya , nak.
Kalo sudah sampai di kota Surabaya , tujulah katumenggungan Surabaya.
Terus tanyakanlah kepada Gusti Tumenggung Jayengrono , nak."

"Iya , yung."

"Sebab yg memegang cacah jiwa orang se Surabaya ,
gak ada yg lain ya Gusti Tumenggung Jayengrono."

"Begitu ya , yung ?"

"Nanti kalo kamu ditanya "siapa nama ibumu ?" ,
katakan terus terang kalo kamu itu anak dari Dewi Sangkrah atau Rara Bèngah.
Biyung gak bisa memberi apa-apa sebagai tanda bukti selain cindhe puspita , terimalah , nak."

"Reang terima ya , yung."


Setelah menerima cindhe puspita Joko Bêrêk pun meminta idhi pangestu dari ibunya.

"Yung , reang mohon idhi pangestu ya , yung ? Reang akan ke Surabaya untuk mencari bapak."

"Iya , nak. Idhi pangestuku menyertaimu seperti air mengalir , nak."

"Reang minta sawab pandonga biyung selalu."

"Iya , nak. Berhati-hatilah kamu pergi ke Surabaya , ya nak.
Ingat-ingatlah selalu pesan biyung."

"Iya , yung."

"Yg pertama. Kamu jangan suka "ngrusak pager ayu".
Sebab orang yg suka ngrusak pager ayu ,
meskipun "sacengkang kulite bakal asor jurite."
(meskipun kulitnya sejengkal tebalnya , tetap bakal kalah dalam peperangan)."

"Iya , yung."

"Yg kedua. Ojo sok pek minek barang'e liyan.
(Jangan menghendaki pun mengambil milik orang lain)
Sebab itu adalah perbuatan gak baik , nak."


"Mbokdhe . . . "

"Ada apa , nak."

"Sedemikian juga dari mbokdhe , reang mohon idhi pangestu untuk ke Surabaya."

"Iya , iya , nak. Putuku yg paling ngganteng di desa ini.
Aku ini nenekmu ya mbokdhemu juga orangtuamu , mendoakan semoga kamu selamat selalu."

"Iya , mbokdhe."

"Aku akan memberimu "pegangan" , nak.
Sekeluar dari pintu , jalan tiga langkah lalu berhentilah dan tahan napasmu.
Bebasan kepethuk musuh dadi dulur , kepethuk satru dadi kadang.
(Ibaratnya bertemu musuh dan orang yg membenci akan luluh jadi saudara)"

"Iya , mbokdhe."


Ki Demang yg tadi ke halaman belakang telah kembali dengan membawa seekor ayam jantan.

"Bawalah ayam jagomu untuk teman perjalananmu."

"Iya , pakdhe."

"Pakdhe gak bisa memberi sangu yg berharga , cuma berpesan padamu.

"Iya , pakdhe."

"Wêdia ambék gumampang. Wania ambék sing têmên.
Pêrcayaa ambék Pangèranmu lan awakmu dhéwé.
Takutlah dengan -bersikap- hati-hati. Beranilah dengan -berpegang pada- kebenaran.
Percayalah -hanya- kepada Sang Pencipta dan dirimu sendiri."

"Iya , pakdhe."

"Hati-hatilah kalo sudah sampai di Surabaya."

Joko Bêrêk lalu berpamitan menyungkemi biyung , pakdhe dan mbokdhenya ,
dan segera menemui Markuat untuk bersama-sama ke Surabaya.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


"Rêk , Rêk . . "

"Iya , kang."

"Lihatlah yg menjaga regol itu khan kayak Kancil."

"Iya , ya kang."

Joko Bêrêk dan Markuat yg telah sampai di Surabaya , di depan regol katumenggungan ,
memperhatikan prajurit yg sedang berjaga.


"Hei !! Hei !! Ini regol katumenggungan. Ada apa kamu orang jelek-jelek di sini ?
Ayo pergi sana !! Pergi sana !!"

"Wayang , wayang , wayang. Kamu itu jadi apa sih , Cil ?"

Markuat berkata dengan santainya.

"Lho ! Heh ! Heh ! Panggil aku gusti ! ndara !"

"Lha aku manggil kamu ndara itu ketemu berapa perkara ?"

"Yok opo rek. Aku iki prajurit tamtama."

Kata prajurit penjaga regol dengan suara yg dibesarkan dan dada dibusungkan.

"Halah , halah , Cil. Kamu kuberutahu ya , Cil.
Meskipun kamu sehari salin delapan kali , aku gak bakalan pangling."

"Lho , kamu itu siapa sih ?"

Kancil masih berpura-pura tidak mengenali Markuat.

"Kamu pura-pura gak kenal , nanti aku minta wedhusku baru tau kamu."

Sadar tidak bisa lagi berpura-pura , sambil merenges (meringis lebih lebar) Kancil berkata.

"Hee.hee.hee... Wat. Kamu masih ingat aja sama aku."

"Lagian kamu itu jadi apa , Cil ?"

"Aku itu jadi prajurit tamtama."

"Eeee , prajurit tamtama ? Kamu aku beritahu ya , Cil.
Orang jadi prajurit tamtama itu khan mestinya mbawa tameng tho."

"Lha ini khan tameng."

"Kamu itu gak mbawa tameng , tapi mbawa tampah pake digambari "kucur"."

"Ooooo , kamu ini ada-ada saja."

"Cil. Cil. Jangan rame-rame."

"Ada apa ?"

"Wedhus'e , wedhus'e."

"Ooooo , malu-maluin aja kamu itu. Sudah , jangan nanyakan uangnya wedhus."

"Lha aku jauh-jauh kesini perlu nanyakan uangnya wedhus."

"Ini siapa ?"

Tanya Kancil

"Reang Joko Bêrêk , kang Kancil."

"Iya , ini Joko Bêrêk. Masa' lupa ?"

"Ooo Joko Bêrêk. Gini ya , kalian berdua sebaiknya pulang saja ke desa ,
karena sebentar lagi gusti Sawungrono dan gusti Sawungsari akan datang."

"Lha aku disuruh pulang . . . . "

"Iya , kamu pulang saja.
Kalo ketahuan aku ngobrol sama kalian , aku bisa diberhentikan dari keprajuritan."

"Lha uangnya wedhus."

"Wadhuuh. Jangan tanya uang wedhus . . . . "

"Kancil !!"

Belum selesai Kancil membujuk agar mereka pergi dari regol ,
2 orang pemuda gagah sudah mendekati regol dengan menunggang kuda.

"Kamu jaga regol koq malah rame-rame , ada apa ?"

"Ini gusti , ada dua orang dari desa , gusti."

"Koq gak kamu suruh pergi."

"Sudah saya suruh pergi tapi gak mau."

"Ini orang-orangnya ? Biar aku tanyai.
Yg gemuk pendek , siapa namamu ?"

"Hamba , Markuat ndara."

"Lha yg tinggi ngganteng , siapa namamu ?"

"Reang Joko Bêrêk , lha rika siapa ?"

Joko Bêrêk menjawab dan balik bertanya dengan menggunakan bahasa ngoko ,
tidak menggunakan bahasa Jawa halus (kromo) ,
selayaknya rakyat jelata bila berbicara kepada kaum ningrat.

"Lho ! Lho ! Cil , kasih tahu . . suruh pake bahasa halus."

Kancil segera memberitahu Joko Bêrêk.

"Bahasamu itu gimana sih. Ini adalah gusti Sawungrono dan gusti Sawungsari. Gusti !!"

"Biarkan saja lho , reang ngomong pake mulut reang sendiri , koq rika sing repot sih."

Melihat ayam jago yg ditenteng Joko Bêrêk , Sawungrono dan Sawungsari tertarik.

"Jago yg kamu bawa itu ? Milik siapa ?"

"Lho , ini jago reang sendiri , gak bakalan kalah dengan jago riko."

Jawab Joko Bêrêk , sambil menunjuk ayam jago yg ditenteng Sawungsari.

"Jangan sembarangan. Ini jago katumenggungan , sudah tersohor menang berkali-kali."

"Reang gak percaya. Ayo kalo berani diadu tha ?"

"Kamu jangan menggampangkan adu jago , sebab ada taruhannya. Apa taruhanmu ?"

"Lha reang gak punya apa-apa . . . "

"Sudah gini saja , tekat-tekatan. Kalo kamu kalah kamu kubunuh , kepalamu kupancung."

"Lha kalo reang sing menang ?"

"Kalo kamu menang , kuijinkan masuk ke katumenggungan dan aku kasih uang."

"Gimana kang Markuat ? Dijadikan tha ?"

"Wis , jadikan saja Rêk , sudah terlanjur jauh dari rumah."


Kemudian Sawunggaling , ayam jago milik Joko Bêrêk
dan Bagong ayam jago milik Sawungrono segera dilepas ke dalam kalangan.
Kedua ayam jago saling memukul dengn taji masing-masing ,
belum habis satu ronde sudah terlihat kalo ayam jago Joko Bêrêk lebih unggul.
Melihat itu timbul kelicikan Sawungrono dan Sawungsari apalagi merasa menghadapi orang desa ,
Bagong segera diambilnya sambil mengibaskan Sawunggaling.

"Lho !! Lho !! Lhoo !! Apa-apaan ini ?"

Teriak Joko Bêrêk.

"Lho , kalo menurut aturan Surabaya , jagomu itu sudah kalah ! Ayo sini lehermu !"

Merasa benar dan ayam jagonya yg menang , Joko Bêrêk pun melawan ,
perkelahian dua lawan satupun tak terhindarkan.
Sawungrono dan Sawungsari yg kena pukulan dan tendangan Joko Bêrêk ,
akhirnya melarikan diri masuk ke dalam katumenggungan.
Kancil segera masuk untuk melaporkan kejadian itu pada Tumenggung Jayengrono.

"Kang Markuat , reang akan meneruskan niat masuk ke dalam katumenggungan."

"Iya , terus ?"

"Rika pulang saja. Reang titip jago ini pasrahkan ke pakdhe."

"Baiklah , aku akan pulang ke Lidah Danawati.
Sebagai pengingat ayam jago ini , sebaiknya kamu jangan lagi memakai nama Joko Bêrêk."

"Lha terus reang make nama siapa , kang."

"Pake saja nama jagomu , Sawunggaling.
Sawung artinya ayam jago , corak bulunya (ules) wiring galing."

"Kalo gitu andhum slamet (saling mendoakan) ya kang."
Di pendopo , Tumenggung Jayengrono terlihat sedang bersusah hati memikirkan nasib rakyatnya.
Lebih lagi setelah mendengar laporan dari Kancil ,
Tumenggung Jayengrono nampak kecewa dengan kelakuan kedua anaknya ,
yg diharapkan kelak dapat meneruskan perjuangannya ,
membela rakyat dari tindakan semena-mena Kompeni Belanda.

"Lhooo , masuk ke sini koq gak ada arek itu ?"

"Hmm . . ini anak muda yg dimaksud Kancil."

Kata Tumenggung Jayengrono dalam hati.

"Sini ! Sini ! Anak muda."

"Lho wak , gak bertemu dengan dua arek yg masuk ke sini ?"

Tanya Joko Bêrêk dengan memakai bahasa Jawa ngoko (kasar).

"Dua anak tadi ?"

"Iya , wak."

"Ketahuilah , dua anak tadi itulah yg disebut putra katumenggungan ,
Sawungrono dan sawungsari. Lha kamu itu anak mana ?"

"Reang arek Lidah."

"Namamu siapa ?"

"Joko Bêrêk ya Sawunggaling."

"Orang tuamu siapa namanya ?"

"Biyung Dewi Sangkrah ya Rara Bengah."

Tumenggung Jayengrono terdiam bebarapa saat demi mendengar jawaban Joko Bêrêk ,
namun ia tetap berusaha menyembunyikan perasaannya ,
meski mengira bahwa pemuda gagah berani di hadapannya adalah anak kandungnya sendiri.

"Kamu pergi jauh dari desamu sampai ke Surabaya , diberi sangu apa oleh orang tuamu."

"Lha ini tandanya , wak."

Joko Bêrêk mengeluarkan cindhe puspita dan menunjukkan kepada Tumenggung Jayengrono.

"Hmmmm . . . "

Tumenggung Jayengrono tersenyum senang dan lalu berkata aris.

"Joko Bêrêk . . . ."

"Iya , wak."

"Kalo kamu bener-bener ingin ketemu dengan orang tua lelakimu ,
aku sanggup mempertemukan , tapi ada syaratnya."

"Syaratnya apa , wak ?"

"Kamu harus bisa merawat kudaku yg berjumlah seratus empat puluh empat.
Selama merawat , kalo sampe ada yg brodhol bulunya , lehermu kupotong sebagai gantinya.
Kalo kamu sanggup , itulah jalan untuk kamu cepat bertemu dengan orang tua lelakimu."

"Iya , wak. Memang niat reang kepengen bertemu dengan bapak reang ,
umpama setelah bertemu reang dibunuhpun rela.
Dimana tempat pemeliharaan kuda itu , wak ?"

"Di belokan ujung jalan itu."

Jawab Tumenggung Jayengrono sambil menunjukkan arahnya.

"Reang rawatnya ya , wak."


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Tak berapa lama kemudian , datang tentara Belanda utusan Jendral De Leer di Batavia.
Yg menyampaikan bahwa masa jabatan Tumenggung Jayengrono selama satu windu sudah habis.
Kompeni tidak meneruskan masa jabatan Tumenggung Jayengrono karena dianggap tidak becus ,
banyak rakyat yg tidak mau menyetorkan padi dan hasil buminya ke kompeni.
Juga pemberontakan di sana-sini yg banyak menewaskan tentara kompeni Belanda.

Untuk itu akan diadakan sayembara "sodoran" ,
memanah cindhe Tunggul Yudha di atas menara kitiran Nawalagala , di alun-alun Kartasura.
Barang siapa saja yg bisa memanah cinde Tunggul Yudha ,
akan diangkat jadi pengganti Tumenggung Jayengrono di Surabaya.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Di pelabuhan , Adipati Cakraningrat duduk di atas kudanya sambil mengudar rasa.

"Êhhê ! Hè.hè.hè... Abo !! Cék 'tak nyaman é pékér.
Mangkêl ongguh mun nénggu blêndhê sé bêdhêh é tanah Jêbê.
Mun bêdhêh parlona , mêsté ambu é Sorbêjê 'tak laju ka Mêdurê.
Sé kapéng duwêk . . ngèding kabbêr , lékmas Tumenggung Jayengrono
é pa'ambu sé dêddi tumênggung é Sorbêjê. Apan'apa sé dêddi salah ? Hè.hè.hè..."

(Êhhê ! Hè.hè.hè... Abo !! Sungguh tidak enak pikiranku.
Mangkel sungguh kalo melihat tingkah laku Belanda yg ada di tanah Jawa.
Kalau ada perlunya , selalu singgah dulu di Surabaya , tidak bablas ke Madura.
Yg nomer dua . . dengar kabar , dhimas tumenggung Jayengrono
diberhentikan jadi tumenggung di Surabaya. Apa sebenarnya yg jadi kesalahannya ? Hè.hè.hè...)

Adipati Cakraningrat lalu menggerakkan tali kekang kudanya ,
sambil mengangkat kedua kaki depannya sang kuda meringkik keras lalu berlari kencang.
Adipati Cakraningrat meneruskan perjalanan menuju alun-alun kota Kartasura.
dengan tidak singgah lebih dulu ke katumenggungan Surabaya.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Di alun-alun Kartasura , tampak Sosrohadiningrat sedang berbicara dengan komandan kompeni.

"Wis , rika gak usah susah , aku membuat sayembara ini sudah kuperhitungkan masak-masak.
Gak bakalan ada penduduk Nusantara Jawa Wetan yg bisa memanah cindhe Tunggul Yudha."

"Iya."

"Cindhe Tunggul Yudha ditaruh di atas menara kitiran (kincir angin) Nawalagala.
Gendhewa dipentang (busur dibentang) , jemparing (anak panah) dilepaskan ,
belum sampai mengenai cindhe sudah menabrak kitiran ,
jemparing patah dan jatuh berkeping-keping."

"Lalu , kalo nanti tidak ada yg bisa ?" Siapa yg akan menggantikan Tumenggung Surabaya ?"

"Gampang. Nanti Kêncêt , keponakanku.
sebab ia bisa diajak kerja sama dengan ratu kulit putih seperti rika."

"Oo , Kêncêt , Iya. Iya. Tidak salah itu."

"Lha ini , apakah para pinsepuh Tanah Jawa Wetan sudah diundang ?"

"Sudah semuanya . . . ."


Tak berapa lama Tumenggung Jayengrono bersama Sawungrono dan Sawungsari ,
sampai di alun-alun dan memasuki arena peserta dengan menunggang kuda.

"Dhimas Jayengrono."

"Inggih kangmas."

"Bagaimana kabar kedatanganmu ?"

"Berkat doa pangestu kangmas , saya baik-baik saja."

"Lho , siapa dua orang di belakang Dhimas Jayenngrono ?"

"Mereka putra katumenggungan , Sawungrono dan Sawungsari."

"Ooo . . Sawungrono dan Sawungsari.
Waaah , bagus-bagus benar kudanya , siapa yg merawat ? Kalian sendiri ?"

"Inggih kanjeng wo."

Keduanya menjawab bersamaan.

"Sabar sebentar , siapa yg datang itu ? Hmmm . . Madura . ."

"Tabik ! Tuan."

"Tabik ! Tabik !"

Si kompeni membalas sapaan Adipati Cakraningrat.

"Abo !! Kangmas Sosrohadiningrat. Bagaimana kabarnya ?"

"Sama-sama baik-baik saja dhimas."

"Lékmas Tumenggung Jayengrono. Bagaimana kabarnya ?"

"Berkat doa pangestu kangmas."


Setelah saling mengucap salam dan berbagi kabar , Sosrohadiningrat menerangkan keadaannya.

"Senang sekali rasa hatiku karena para pinisepuh sudah berkumpul semua di sini.
Niat tuan Belanda mengadakan sayembara memanah (sodoran) ini ,
adalah untuk mencari pengganti Tumenggung Jayengrono yg sudah habis masanya.
Sebelum dimulai , keamanan selama sayembara ini aku serahkan pada dhimas Cakraningrat."

"Kangmas Sosrohadiningrat. Kula , sagah dèrèng kantênan , mbotên dèrèng kêlampahan."
(Menyanggupi belum tentu bisa , menolak belum terlaksana.)

"Ya disanggupi dhimas. Sebab kulihat tidak ada pinisepuh yg bisa selain dhimas Cakraningrat."

"Coba saja !"

"Karena semua sudah siap , sayembara bisa dimulai. Yg pertama adalah Sawungrono."

Sawungrono segera maju dan memohon restu dari para pinisepuh.

"Kanjeng romo , saya mohon berkat pangestu memanah cindhe Tunggul Yudha."

"Iya anakku , berkat pangestuku menaungimu."

"Wo Cakraningrat , saya mohon mohon berkat pangestu."

"Iya !" Cakraningrat menjawab singkat.

"Wo Sosrohadiningrat . . . . . "

"Aku doakan. Semestinya kamu yg bisa menggantikan ayahmu menjadi tumenggung di Surabaya."

Dengan liciknya Sosrohadiningrat mengucapkan kata-kata itu.


Sawungrono segera memasang jemparing pada gendhewa ,
sambil membidik sasaran pelahan-lahan menarik tali gendhewa , lalu melepaskannya.
Seperti yg sudah direncanakan Sosrohadiningrat ,
sebelum jemparing mengenai cindhe Tunggul Yudha ,
lebih dulu mengenai baling-baling kitiran dan jatuh terputus mata panahnya.

"Waaaahhh . . Luput. Luput."

Sorak sorai mereka yg menonton seakan menggambarkan kekecewaan Sawungrono.

"Dhimas Jayengrono. Bagaimana dhimas mendidik putramu ?
Koq tidak bisa memenangkan sayembara ini ?"

Sosrohadiningrat berpura-pura menunjukkan kekecewaannya atas kegagalan Sawungrono.

"Inggih. Mohon maaf kangmas."

"Kalo begitu sekarang giliran Sawungsari."

Sawungsari pun maju menyiapkan diri dan memohon berkat pangestu kepada para sepuh.

"Dhuh njeng romo . . . Wo Sosrohadiningrat . . . Wo Cakraningrat . . .
Putramu Sawungsari mohon tambah idhi pangestu sampeyan semua.
Semoga dalam memanah cindhe Tunggul Yudha bisa berhasil."

Namun Sawungsari juga gagal memanah cindhe Tunggul Yudha.

Tiba-tiba masuk seorang pemuda dengan mengendarai kudanya ,
ke arena yg semestinya hanya untuk peserta dan para sesepuh Tanah Jawa.

"Siapa itu ada orang masuk." Kata kompeni.

Tumenggung Jayengrono yg mengenali segera menghentikan penunggang kuda itu.
Sebagai sesepuh Tanah Jawa dan yg dipercaya Kompeni Belanda ,
Sosrohadiningrat hendak mencari tahu tentang pemuda itu ,
namun didahului Cakraningrat yg hendak memukul pemuda itu ,
beruntung segera dihalangi oleh Jayengrono dan sesepuh yg lain.

"Abo !! Kurang ajar sekali! Kutampar baru tahu !"

"Sabar ! Sabar ! Wong anak gak berbuat apa-apa koq."

"He eh dhimas Cakraningrat. Sabar sauntara , biar aku tanyai dulu."

"Genika tanpo amit !"
(-Orang- ini tanpa permisi !)

"Iya , anak ini memang lancang.
Sudah lumrah kalo kawula cilik itu kurang tata , kurang krama , kurang hati-hati (deduga).
Para pinisepuh kudu bisa ngemong dan sabar."

Sosrohadiningrat lalu bertanya kepada Tumenggung Jayengrono.

"Dhimas Jayengrono. Aku mau bertanya. Kenal dengan orang ini."

"Numun inggih. Saya mengenalnya."

"Ooo . . jadi dari Surabaya ?"

"Iya , benar."

"Kalo begitu aku akan menanyai langsung."

Sosrohadiningrat mendekati pemuda dan bertanya.

"Orang muda , kamu dari mana ?"

"Reang dari Lidah Danawati , wak."

"Namamu siapa ?"

"Reang Joko Bêrêk ya Sawunggaling."

"Lha , apa keperluanmu masuk ke sini ?"

"Reang mau lihat tontonan , wak."

"Bê !!! 'tak abêssê !!!"
(Lho !!! Tidak berbahasa halus !!!)

Adipati Cakraningrat kembali marah dan mendekati Sawunggaling.
Karena Sawunggaling menjawab pertanyaan Sosrohadiningrat dengan bahasa ngoko ,
bahasa yg selayaknya hanya digunakan pada yg sederajat dan umumnya kaum jelata.
Sosrohadiningrat segera menahannya.

"Dhimas Cakraningrat . . ."

"Inggih , kangmas."

"Sabar sauntara ya dhimas. Biar aku tanya keperluannya masuk ke arena ini.
Sebab kalo memang berniat mengikuti sayembara , Belanda tidak pilih kasih.
Siapa saja , meskipun wong pidhak pedara'an (rakyat jelata) boleh mengikuti , kalo berani."

"Inggih , kangmas."

Sosrohadiningrat lalu kembali berujar kepada Sawunggaling.

"Begini ya , Sawunggaling . . ."

"Iya , wak."

"Kalo kamu masuk ke arena ini cuma untuk menonton , gak ada gunanya ,
kecuali kalo kamu memang berani mengikuti sayembara bangsa Belanda ini.
Sayembaranya adalah memanah cindhe Tunggul Yudha di atas kitiran itu."

"He eh , wak."

"Kalo kamu berhasil , kamu bakal jumeneng jadi Tumenggung Kanoman di Surabaya.
Tapi kalo gagal , kamu musti tahu . . . .
Kalo kaum ningrat atau bangsawan , meskipun gagal dimaafkan , tidak ada hukuman apapun.
Tapi kalo rakyat biasa , ada hukumannya , . . dipotong lehernya."

"Oooo , jadi reang boleh mengikuti sayembara ini ya , wak ?"

"He eh."

"Tapi kalo gagal leher reang dipancung ?"

"Ya sudah semestinya."

"Iya sudahlah , wak. Hitung-hitung buat penglaris."

"Kalo gitu panahlah !"

"Iya , wak."

Sawunggaling lalu maju menyiapkan diri , sambil memegang jemparing dan gendhewa ,
ia lalu tengadah ke langit , tertawa keras dan mengucapkan kalimat-kalimat bertuah.

"Ha.ha.ha.ha.. Êhêmm . . . Biyung Dèwi Sangkraaaah ! Pakdé Wongsodrono !
Nyai Roro Pati lan Buyut Suruh. Réang anak putu rika , Joko Bêrêk ya Sawunggaling.
Njaluk pangèstu rika nglêboni patêmbayané bangswa Landa.
Nyodor gêndhéra Tunggul Yudha sumubêng sa'dhukuré mênara Nawalagala , yung , dhé.
Idhinana kaya banyu mili. Pêno mangan kêsêrêtana. Ngombé kêcêgukana.
Mlaku kêsandhunga , nèk turu tangia.
Madhêp kêkarêpan kang ndadikna urip.
Bisa katêkan apa sing dadi kêkarêpan réang.
Loo loo loo bo` bo` bo`. Biyung Dèwi Sangkraaaaaaaaaaah !!!"

Sambil meneriakkan nama biyungnya dengan suara yg seakan membelah angkasa ,
Sawunggaling mementang langkap dan membidik , ketika jemparing dilepaskan ,
sorak sorai penonton ambata rubuh menandai keberhasilannya.

"Wah , Celaka. Celaka . . "

Sosrohadiningrat membatin sambil memikirkan rencana selanjutnya.
Ia lalu mendekati Carkraningrat ,
dengan tetap menunjukkan kegembiraannya atas keberhasilan Sawunggaling.

"Dhimas Cakraningrat."

"Inggih , kangmas Sosrohadiningrat."

"Sudah bisa dipastikan bahwa Sawunggaling berhasil menyelesaikan sayembara ini."

"Lalu bagaimana ?"

"Baik atau jeleknya aku serahkan kepada dhimas Cakraningrat."

"Inggih. Kangmas Sosrohadiningrat , amit !"

Lalu Cakraningrat mendekati Sawunggaling. Dari rasa marah karena kurangnya tata krama ,
menjadi rasa suka , karena ternyata Sawunggaling berhasil memanah cindhe Tunggul Yudha.

"Sawunggaling."

"Iya , wak."

"Para saka ngendhi ?"
(Kamu dari mana ?)

"Lidah Danawati."

"Nah , begini putraku , Sawunggaling.
Para gak pantes kalo menjadi Tumenggung Kanoman di Surabaya memakai nama Sawunggaling."

"Iya , wak."

"Kalo baiknya , aku kasih jejuluk . . . "Kulma Sosronegoro"".

"Ha.ha.ha.ha..... ehhhmm. Lalu bagaimana njeng wo Cakraningrat."

"Para belum bisa menjadi tumenggung sebelum para menerima beslit dari Belanda. Pertama."

"Inggih , njeng wo."

"Yg kedua , sebelum para menerima busana dari Mataram."

"Inggih , njeng wo."

"Kalo para sudah menerima keduanya , para bisa menjadi Tumenggung Kanoman Kulma Sosronegoro , ya tumenggung Surabaya menggantikan dhimas Tumenggung Jayengrono."

"Inggih , njeng wo."

"Nah ! Semoga selamat "mbahu dendha anyakrawati"."

"Kangmas Sosrohadiningrat , mohon pamit. Tuan , tabik !."

Adipati cakraningrat segera naik ke punggung kuda dan melecutkan cemeti ,
meninggalkan alun-alun , diam-diam ia sudah menebak rencana Belanda dan Sosrohadiningrat.

"Anak angger Kulma Sosronegoro."

"Selanjutnya bagaimana njeng wo Sosrohadiningrat ?"

"Belum waktunya kalo kamu menerima beslit. Sebab sayembaranya Belanda masih ada satu lagi.
Kalo kamu bisa menjadikan alas Nambas Kelingan menjadi karang perdesan ,
barulah kamu menjadi Tumenggung Kanoman di kota Surabaya."

"Ooo , begitu kemauan bangsa Belanda ?"

"Sanggup ?"

"Mohon berkat pangestu akan saya babat hutan Nambas Kelingan untuk perdesaan."

"Iya , aku beri pangestu."

Sawunggaling segera menuju ke kudanya dan melarikan kencang menuju alas Nambas Kelingan.
Alas yg terkenal gawat keliwat-liwat , "bebasan jalma mara mati , sato mara mati".
(Ibaratnya , manusia ataupun hewan yg memasuki hutan itu pasti mati).

Sepeninggal Sawunggaling , kompeni Belanda mengatur siasat dengan Sosrohadiningrat.

"Tidak cocok kalo Sawunggaling menjadi tumenggung di Surabaya."

"Aku sendiri juga tidak setuju. Makanya aku suruh membabat alas Nambas Kelingan ,
gak pulang manusianya bakal pulang namanya saja."

"Betul kalo begitu."

"Tapi kalo sudah terlaksana kemauan Belanda di Nusantara Jawa Wetan Surabaya ,
Belanda jangan lupa , bintangku musti bertambah."

Kata Sosrohadiningrat sambil menepuk-nepuk pundaknya.

"Oo , jangan kuatir. Nanti saya sampaikan Jendral De Leer di Batavia."

"Selainnya bintang , nyonya Belanda empat belas yg ayu-ayu jadi selirku."

"Oo iya , betul itu. Tidak salah permintaan tuan."
"Haik yak !! Wakakakaka . . Jih ! Jih !"

Suara Sawunggaling dari atas kudanya di dalam alas Nambas Kêlingan.

"Siapa yg naik kuda ini ? Mandheg ! Mandheg !!"

"Loo loo loo bo` bo` bo` bo' . . siapa yg berani menghalangi Sawunggaling Kulma Sosronegoro ?"

"Nèk pancèn kon gak êruh ambék aku , ya aku Syeh Mala Raja Nambas Kêlingan."
(Kalo kamu memang tidak tahu dengan diriku , ya aku Syeh Mala Raja Nambas Kelingan)

"Syeh Mala Raja Nambas Kelingan ?"

"Bener !"

"Ketahuilah Raja Nambas ! Semua kawulamu , jin , sètan , pêriprahyangan , ilu-ilu ,
gênderuwo , tèk-tèk'an , banaspati , brêkasak'an , bawalah pergi menyingkir !
Sebab aku sudah membunuh Satir dan Satar. Malah Satir jadi jaran Mayangkara.
Satar jadi Pecut Gembolo Geni. Maka , mau tidak mau harus nurut dengan Kulma Sosronegoro."

"Jadi Satar dan Satir sudah kamu bunuh ?"

"He eh !"

"Kalo begitu tinggal satu orang seperti aku , bakal manunggal manjing ke dalam ragamu."

"Kalo begitu gak usah menunggu lama-lama !"

Syeh Mala pun dikalahkan oleh Sawunggaling Kulma Sosronegoro.
Raja Jin penguasa Alas Nambas Kelingan yg menyatu dengan jiwa raga Sawunggaling
itupun menambah kesaktian Sang Tumenggung Kanoman yg belum di wisuda itu.

Hutan gawat keliwat-liwat itupun lalu mulai didiami penduduk dan menjadi perdesaan.

"Loo loo loo bo` bo` bo` bo' , Bangsa Belandaaa ! Hati-hati dan waspadalah !
Sudah waktunya para menurunkan beslit reang jadi Tumenggung Kanoman kota Surabaya.
Sisip sèdèng paningalmu , mblènjani janjimu ,
'tak towok Biring Lanang , bakal dadi randha bojomu. Hua.ha.ha.ha....."
(Tidak -mau- melihat yg sebenarnya , mengingkari janjimu ,
kutusuk Biring Lanang , bakal jadi janda istrimu.
Biring Lanang : nama dapur/bentuk perwujudan tombak.)

Sawunggaling pun melarikan kuda Mayangkara , hendak menemui kompeni dan Sosrohadiningrat.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Sosrohadiningrat tengah berbicara dengan komandan pasukan kompeni.

"Hmmmm . . . Celaka . . Celaka . ."

"Tuan Sosrohadiningrat. Bagaimana ?"

"Ini benar-benar celaka. Kalo mendengarkan omongan orang di jalan-jalan ,
Sawunggaling sudah berhasil membabat Alas Nambas Kelingan menjadikannya perdesaan."

"Dulu Tuan berkata , kalo Sawunggaling ke Nambas tidak akan kembali."

"Semestinya begitu ! Tapi ketahuilah , Sawunggaling bukanlah orang eceran ,
Sawunggaling masih keturunan ningrat , aku tahu sejarah hidupnya."

"Iya. Lalu bagaimana ?"

"Ini soal mudah. Ikuti saja rencanaku."

"Iya. Iya."

"Sekarang , adakanlah pesta besar-besaran.
Untuk menghormati keberhasilan Sawunggaling membabat Alas Nambas Kelingan.
Siapkanlah minuman-minuman yg berasal dari negara Belanda.
Lha minuman yg untuk Sawunggaling , campuri racun. Kalo sudah minum racun , pasti mati !"


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


"Lha itu khan Cakraningrat yg datang. Bersikaplah wajar , . . yg tenang saja."

Kata Sosrohadiningrat kepada kompeni Belanda tatkala pesta yg dimaksud sudah saatnya.

"Dhimas Cakraningrat."

"Inggih Kangmas Sosrohadiningrat. Ada perlu apa mengundang saya kesini ?"

"Ini ada acara penting. Perlunya para pinisepuh Tanah Jawa Wetan ikut menyaksikan ,
Sawunggaling berhasil menyelesaikan sayembaranya Belanda yg nomer dua."

"Lhaaa , hè.hè.hè.hè.hè....... Rak inggih mêkatên kangmas.
Gênika sé énama'agi gul-agul'a Jêbê Témor."
(Lhaaa , hè.hè.hè.hè.hè....... Khan memang begitu kangmas.
Ini yg disebut jagoannya Jawa Timur.)

"Iya dhimas. Sawunggaling memang pantas dijagokan."

"Hè.hè.hè.hè. anak muda yg bintangnya baru muncul."

"Dhimas senang hatinya , aku juga senang."

"Apa sudah datang Sawunggaling ?"

"Belum datang . . . . . . lha itu apa orangnya."


"Londooooooo . . . Haik yak !! Wakakakaka . . . . . ."

Dari jauh terdengar teriakan dan tawa Sawunggaling mengiringi ringkikan kudanya.

"Sawunggaling . . ."

"Inggih , bagaimana njeng wo Sosrohadiningrat ?"

"Sama-sama dalam keadaaan baik-baik khan ?"

"Berkat dan pangestu njeng wo Sosorohadiningrat dan njeng wo Cakraningrat."

"Ini karena senangnya hati para pinisepuh Surakarta dan njeng wo-mu Cakraningrat ,
sebab kamu bisa membabat alas Nambas Kelingan jadi perdesaan."

"Memang benar seperti itu adanya."

"Lha ini saking senangnya Belanda , diadakan jamuan penghormatan ,
bersenang-senang , minum-minum minuman yg berasal dari negera Belanda."

"Ooo . . jadi sebelum reang menerima beslit , diadakan pesta ?"

"Iya , ngger."

"Nyumanggakaken kemawon njeng wo."

Cakraningrat lalu berkata.

"Kangmas Sosrohadiningrat , apa para sinden dan pangrawit sudah siap semua ?"

"Sudah disediakan semuanya , tinggal memberi perintah saja."

Suara rebab dan gamelanpun mulai mengalun mengiringi minuman yg mulai disajikan.

"Ini yg untuk Sawunggaling."
Sosrohadiningrat mengulurkan gelas berisi minuman bercampur racun ,
yg memang dipersiapkan untuk Sawunggaling.
Namun ketika Sawunggaling hendak meneguk minuman itu . . . . . .

"Tè-ngatè !"
(Hati-hati !)

Cakraningrat segera menepis , sehingga gelas minuman itupun jatuh dan isinya tumpah.
Lalu Cakraningrat berdiri dan menuju tempat kudanya ditambatkan.

"Loo loo loo bo` bo` bo` bo' . . jangan lari njeng wo Cakraningrat."

"Sawunggaling , kalo kamu memang benar-benar sakti mandraguna , ayo hadapi aku."

Adipati Cakraningrat segera menaiki kudanya dan melarikannya menjauhi tempat pesta itu.

Sawunggaling yg terkejut dan marah segera disabar-sabarkan oleh Sosrohadiningrat.

"Sawunggaling . . ."

"Njeng wo Sosrohadiningrat , bagaimana ini njeng wo Cakraningrat ?"

"Anak angger Kulma Sosronegoro , aku kanjeng uwakmu ,
yg benar-benar senang kalo kamu bisa jadi Tumenggung Kanoman di Surabaya."

"Benar njeng wo."

"Lha ini yg gak setuju , yg berhati busuk , gak lain ya njeng wo-mu Cakraningrat !"

"Loo loo loo bo` bo` bo` bo' . ."

"Nyatanya minumanmu ditepis hingga jatuh. Makanya gak usah menunggu lama-lama ,
kejarlah larinya dan bunuh saja njeng wo-mu Cakraningrat."

Sambil sesumbar , Sawunggaling menaiki jaran Mayangkara , mengejar Adipati Cakraningrat.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


"Njeng wo Cakraningraaaaat !! Jangan lari kalo memang lelaki sejati.
Hadapilah Sawunggaling Kulma Sosronegoro , hua.ha.ha.ha......"

Jauh dari tempat pesta , Cakraningrat memperlambat kudanya dan turun dari pelana.

"Hop! Hop! Mandheg ! Mandheg ! Mandheg !"

"Loo loo loo bo` bo` bo` bo' . . Ciri ati njeng wo Cakraningrat."

"Tumenggung Kanoman Surabaya. Ayo mandheg !
Aku minta para turun dari kuda. Jangan rembugan di atas kuda."

"Aku niati aku kajati , gak lega gak rela kalo belum membunuh njeng wo Cakraningrat."

"Hè.hè.hè.hè.hè.... Beh ! Beh ! Beh ! Jêriya bêdhê rèng towa é patèk'ana bi' nak-kanak."
(Hè.hè.hè.hè.hè.... Beh ! Beh ! Beh ! Ya ini ada lakon orang tua mau dibunuh anak-anak)

"Meskipun mati kalo sudah gamblang , meskipun mati kalo sudah jelas perkaranya.
Sawunggaling ! Para , dengarkan ceritaku terlebih dulu.
Aja kêladug ati kêliru penampa dengan siwo para Adipati Tanah Sabrang ini."

"Apa maksud njeng wo Cakraningrat ?"

"Apa sebabnya gelas minuman para aku tepis ? Karena minuman itu beracun !
Kalo dikatakan aku sirik hati. Gak bener !!
Kalo dikatakan aku punya hati iri , drêngki , srèi , mêthakil. Gak bener !!
Aku ngeman (sayang) para Sawunggaling , sebab ada salah satu sesepuh Tanah Jawa ,
yg tidak setuju kalo para bisa jadi Tumenggung Kanoman di Surabaya."

"Seperti itukah njeng wo Cakraningrat ?"

"Bukti yg pertama. Para disuruh masuk dan membabat alas Nambas Kelingan ,
itu sebenarnya cuma bertujuan untuk membunuh para.
Yg kedua. Para sengaja diberi gelas minuman yg sudah dicampuri racun.
Tujuannya membunuh para , supaya para gak jadi Tumenggung Kanoman Surabaya ,
sebab sebenarnya sudah ada yg disiapkan untuk menggantikan lekmas Tumenggung Jayengrono."

"Inggih njeng wo."

"Yg pungkasan ! Sawunggaling ya Tumenggung Kanoman Surabaya . . . .
Sebenarnya , . . para bukanlah anaknya orang pidak pedarak'an ,
tapi sebenarnya . . orang tua lakimu . . tidak lain adalah lekmas Tumenggung Jayengrono."

"Loo loo loo bo` bo` bo` bo' . . njeng wo Cakraningrat.
Meninggalnya orang tua lelakiku , siapa sebenarnya yg membunuhnya ?"

"Lhaa . . meninggalnya romo para adalah di tangan siwo para , Sosrohadiningrat."

"Loo loo loo bo` bo` bo` bo' . . Kalo begitu terang dan nyata ,
njeng wo Sosrohadiningrat tidak setuju reang jadi tumenggung kanoman di Surabaya."

"Sawunggaling Kulma Sosronegoro. Rembug cukup , nak !
Ayo ! Kejar dan selesaikan urusanmu dengan siwo para Sosrohadiningrat."


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Sawungaling yg mengamuk dan membunuhi banyak serdadu Belanda ,
membuat Sosrohadiningrat melarikan diri dan mencari tempat yg aman.

"Wah. Wah. Wah. Celaka. Celaka. Mengamuknya Sawunggaling seperti mengejar napasku.
Sudah kuniati dan kukajati , Belanda aku adu domba dengan Jawa.
Jawa aku adu dengan Madura. Madura menang , ikut Madura.
Jawa menang , ikut Jawa. Belanda menang , ikut Belanda."

Tak berapa lama datanglah komandan kompeni.

"Tuan Sosrohadiningrat. Sawunggaling mengamuk , banyak Belanda yg jadi korban."

"Kalo cuma Belanda satu tangsi saja gak ada artinya buat Sawunggaling."

"Lalu bagaimana ini ?"

"Pergilah ke Batavia minta bantuan tentara Belanda lagi."

"Baiklah kalo begitu. Terima kasih , selamat tinggal ya."

"Sama-sama semoga selamat."


"Sosrohadiningraaaaaatt !!"

Terdengar teriakan Sawunggaling menyusul tempat keberadaan Sosrohadiningrat.

"Adhuh . . Adhuh . . ."

Sosrohadiningrat berusaha melarikan diri.

"Berhentilah kalo memang lelaki sejati !!"

"Sareh dhisik , anak angger . Sabar dulu."

"Huaa.ha.ha.ha... njeng wo Sosrohadiningrat."

"Iya , anak angger."

"Ketahuilah , ini Sawunggaling Kulma Sosronegoro menemui para."

"He em. Ada apa anak angger ?"

"Tidak ada orang tua yg 'dijangkar basane' , sebab orang tua gak bener kelakuannya."
(Dikurang-ajari dengan memanggil nama dan tidak menggunakan bahasa Jawa halus.)

"Gak apa-apa , wong perang koq."

"Reang bakal tanya sama para.
Siapa yg membunuh orang tua reang , Tumenggung Jayengrono ?"

"Yg . . yg . . yg membunuh ? Yg . . yg membunuh . . gak tahu aku . . "

"Oo , gak tahu ? Siapa yg memberi racun pada minuman Sawunggaling Kulma Sosronegoro ?"

"Yg . . yg . . yg memberi racun ? yg . . yg memberi racun . . gak tahu aku."

"Loo loo loo bo` bo` bo` bo' . . njeng wo Sosrohadiningrat ,
ibarat antara Sawunggaling dan njeng wo Sosrohadiningrat , hutang beras membayar beras ,
hutang sakit membayar sakit , hutang nyawa membayar nyawa !"

Sawunggaling pun menghabisi nyawa Sosrohadiningrat ,
lalu menaiki kudanya sambil sesumbar dan mencari dimana saja tentara Belanda berada.

"Hua.ha.ha.ha.. . Bangsa Belanda ! Polahnya seperti gabah diayak dalam tampah ,
berlarian ke utara , selatan , barat , timur , mencari penghidupan.
Hadapilah Sawunggaling Kulma Sosronegoro anaknya biyung Dewi Sangkrah.
Jangankan satu dua tiga , sepuluh duapuluh , majulah bersama-sama !"
S.O.T.R , September '10



Catatan : Tulisan ini berdasarkan kaset rekaman pementasan Ludruk RRI Surabaya ,
dengan lakon "Sawunggaling" pada sekitaran tahun 1975.

===========================================================
===========================================================

Ada tulisan versi yg berbeda menyebutkan bahwa ,
Dewi Sangkrah sebenarnya adalah seorang putri keraton Jogya yg ketika ke Surabaya ,
tersesat di desa Lidah dan lalu ditampung dan diangkat anak ,
oleh mbah Buyut Suruh atau Raden Karyo Sentono.

Perkawinan Adipati Jayengrono dengan Dewi Sangkrah ,
yg hanya sepengetahuan Raden Karyo Sentono , tanpa ijin dari keraton ,
melahirkan seorang anak lelaki yg diberi nama Sawunggaling.

Setelah Sawunggaling dewasa , diantarkan kakek angkatnya Raden Karyo Sentono ke Surabaya ,
dengan membawa tanda bukti berupa cindhe puspita yg diberikan Adipati Jayengrono.

Berbagai rintangan dan kesulitan yg menghadang ketika melewati daerah Lidah ,
Wiyung dan Lakarsantri , yg pada masa itu masih berupa hutan belantara ,
dapat diatasi berkat bantuan Raden Ayu Pandansari ,
putri cantik anak raja jin penguasa hutan Wiyung.

Bahkan juga halangan oleh saudara tirinya , Sawungrono dan Sawungsari ,
ketika Sawunggaling sudah sampai di kadipaten , dapat diatasi.
Sawunggaling pun akhirnya bertemu dengan ayah kandungnya , adipati Jayengrono.
Sawunggaling lalu diberi tugas menjadi pendamping adipati sebagai tumenggung kanoman ,
dengan gelar Raden Mas Ngabehi Sawunggaling Kulma Sosronegoro.