kembang wijayakusuma

Wijayakusuma adalah nama bunga yang istimewa. Tak hanya bentuknya yang istimewa, bunga ini juga memiliki kisah dan legenda yang mengiringi kehadirannya. Ada banyak versi cerita yang berkembang termasuk berhubungan dengan pulau Nusakambangan.

Wijayakusuma merupakan nama bunga yang beraroma harum dan berkembangnya secara sempurna saat tengah malam sekitar jam 12 malam. Satu tangkai kembang bisa beisi sekitar 10 kuntum, bisa juga lebih banyak mencapai 20 kuntum. Maka dalam satu pohon yang memiliki banyak tangkai, bisa muncul ratusan kembang. Bentuknya seperti terompet, dan memiliki kelir serta warna kelopaknya hijau, mahkotannya putih, benangsarinya putih kekuningan.

Kisah bunga ini konon memiliki hubungan dengan satu cerita legenda yang cukup terkenal terkait Pulau Nusakambangan. Ceritanya bermula dari seorang puteri Adipati Bandapati yang memerintah di Kadipaten Bonokeling, bernama Raden Ajeng Bandawati. Ia sangat cantik sehingga banyak yang ingin memilikinya.

Akhirnya, untuk meminang puteri tersebut diadakanlah sayembara yaitu dengan menahan semua kesaktian dan senjata pusaka Adipati Bandapati. Akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh Raden Pucangkembar yang merupakan putera dari Ki Ageng Giri. Sang Raden Pucangkembar pun akhirnya menikahi Raden Ayu Bandawati. Walau sudah bersuami dan memiliki 3 orang anak, Raden Ayu Bandawati masih dikejar para Adipati yang lain untuk dijadikan isteri. Akhirnya Raden Ayu Bandawatipun menjelma sebagai setangkai bunga bernama kembang "Wijayakusuma". Begitu tenarnya legenda kembang Wijayakusuma, sehingga tahun 1971 seorang penguasa negeri ini juga melakukan pemetikan kembang Wijayakusuma dengan cara yang masih tradisonal.

Versi lain menyebut terkait kisah pewayangan. Konon bunga Wijayakusuma ini adalah jimat atau senjata ampuh istimewa milik Sri Bathara Kresna, putra Prabu Basudewa yang berasal dari kerajaan Madura. Disebutkan pula, Bathara Kresna itu adalah sosok raja yang bijaksana dari negara Dwarawati. Kembang Wijayakusuma yang istimewa ini, konon hanya dipakai untuk membantu Pandawa pada saat kondisi genting dan terdesak.

Nama bunga Wijayakusuma itu sendiri berasal dari dua suku kata, Wijaya yang berarti menang, dan kusuma yang berarti kembang. Jadi bunga ini memiliki makna 'bunga kemenangan' sebagaimana cerita kejayaan yang dialami para pelakunya. Dalam cerita rakyat selanjutnya, Sri Bhatara Kresna dalam dunia wayang dianggap sebagai titisan Sang Hyang Wisnu, yang kemudian melakukan muksa. Konon suatu ketika Kresna ini yang melempar bunga Wijayakusuma ini ke laut kidul (samudera Indonesia) yang kalau dilihat sekarang lebih dekat dengan pulau Nusakambangan. Bunga ini dilemparkan bersama tempat sejenis potnya. Tutup pot yang berbentuk bundar, konon mewujud menjadi pulau Majeti, sementara tempat di bagian bawah bisa menjadi pulau Bandung. Kalau dilihat dalam peta dan lokasi sekarang, dua pulau ini juga masih berdekatan dengan pulau Nusakambangan. Dan konon hanya di pulau ini pulalah beradanya bunga wijayakusuma.

Yang jelas bunga ini tergolong istimewa dan memiliki kisah yang berhubungan dengan para pembesar, termasuk keraton Yogyakarta dan juga Surakarta. Bahkan kalau diurut lagi bisa sampai pada zaman Prabu Aji Pramosa di Kediri hingga kesultanan berikutnya. Setiap ada penobatan raja baik Susuhunan di Surakarta maupun Kesultanan di Yogyakarta, mereka akan mengirim utusan 40 orang ke Nusakambangan untuk memetik kembang Wijayakusuma, dan ritual ini masih dilakukan sampai sekarang.

Sebelum melakukan tugas pemetikan, para utusan itu melakukan ziarah ke makam-makam tokoh leluhur di sekitar Nusakambangan seperti pesarean Adipati Banjaransari di Karangsuci, Adipati Wiling di Donan, Adipati Purbasari di Daun Lumbung, Pangeran Jatiwirya (Kyai Saleh) di Parakan, Kyai Singalodra di Kebon Baru dan Panembahan Tlecer di Nusakambangan. Tempat lain yang juga diziarahi yaitu pasarean Kyai Ageng Wanakusuma di Gilirangan dan Kyai Kasan Besari di Gumelem, Banjarnegara. Selain ziarah atau nyekar, mereka melakukan tahlilan dan sedekah kepada fakir miskin di sekitar tempat-tempat tersebut. Malam berikutnya dilanjutkan dengan tirakatan di Masigit Sela. Masigit Sela adalah sebuah gua di pulau Nusakambangan yang menyerupai Masjid.

Mitos tentang kembang Wijayakusuma ini sangat berpengaruh pada kehidupan nelayan di pantai Cilacap. Ada sejenis ikan yang mereka keramatkan yaitu ikan Dawah (dawah dalam bahasa Jawa artinya jatuh). Ikan ini dianggap jelmaan dari daun pohon Wijayakusuma yang berjatuhan di laut.

Para nelayan itu sangat berpantang memakan ikan Dawah, mereka takut mendapat bencana atau malapetaka. Umumnya mereka menolak rezeki Tuhan yang satu ini padahal dagingnya empuk dan rasanya lezat. Pengaruh ini juga melahirkan upacara budaya sedekah laut yang dilaksanakan setiap bulan Sura, mereka melarung rezekinya ke laut pantai selatan.