bagelen

Era Hindu - Budha
Setelah agama hindu berkembang di tanah Bagelen, daerah sepanjang aliran sungai besar yang sekarang dikenal dengan Bagawanta merupakan bagian penting dari Kerajaan Mataram Hindu. Sungai besar yang mengalir sejak kaki gunung Sumbing terus melingkar, bagaikan ular raksasa dan bermuara di samudera Hindia, dahulu kala dikenal sebagai sungai Watukura. Seorang pengembara dari Jawa Barat bernama Pujangga Manik dalam naskah kuno bahasa Sunda yang ditulisnya, secara jelas dan rinci menyebutkan nama-nama tempat sepanjang pulau jawa dan menyatakan bahwa sungai besar tersebut bernama Watukura. Daerah sepanjang aliran sungai itu merupakan daerah pelungguhan raja Mataram Kuno terbesar yaitu Dyah Balitung, seorang raja yang kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali bahkan hubungan internasionalnya hingga mencapai Madagaskar – Afrika.
Di sepanjang kedua tepi aliran sungai tersebut dahulu kala banyak terdapat bangunan-bangunan suci berupa kuil dan candi. Bekas-bekas bangunan tersebut terdapat antara lain di Maron, Loano, Baledono, Tambak, Boro, Bagelen dan dekat muara sungai tersebut sampai sekarang masih terdapat daerah bernama Watukura, yang disebut-sebut sebagai tempat kremasi leluhur raja Dyah Balitung. Merupakan bangunan suci agama Siwa dan Budha. Oleh karena banyak Pendeta yang berada di tepi sungai Watukura maka sungai itupun dinamakan sungai Bagawanta. Atau bisa diartikan sebagai tempat para pendeta kerajaan berada, sebab sampai sekarang di pulau Bali masih terdapat para pendeta kerajaan yang di sebut bagawanta.
Dari sisa–sisa bangunan yang masih ada di Bagelen dan dukuh Keposong desa Kalirejo, kecamatan Bagelen terdapat bekas candi Budha. Di dua tempat tersebut sekarang masih bisa dilihat fragmen monumen berupa stupa. Ada dugaan di dua tempat tersebut dahulu merupakan situs candi yang cukup besar. Bekas-bekas bangunan suci Siwa yang masih ada sisanya antara lain terdapat di Loano, Baledono, Kaligesing (goa Seplawan), rangkaian goa-goa antara lain goa Gong, goa Lawang dan goa Silumbu di kecamatan Pituruh dan Kemiri. Bekas candi di Ngombol, bekas tempat pemujaan di bukit Kaliwatubhumi desa Lugu kecamatan Butuh, bekas peninggalan kuno di Banyuurip, Purwodadi, Bagelen. Di daerah–daerah yang dahulu masuk dalam wilayah Bagelen terdapat bekas bangunan monumen antara lain: Kutowinangun, Ambal, Somolangu dan Logending.
Era Islam
Menurut cerita lokal disebutkan dalam pengembangan agama Islam, Sunan Kalijaga sampai di tanah Bagelen dan berhasil mendirikan pondok pesantren di dukuh Watu Belah yang sekarang masuk Trirejo kecamatan Loano. Di wilayah tersebut Sunan Kalijaga mengajarkan agama Islam sebagai agama baru. Demikian juga di desa Dlangu, yang sekarang masuk dalam wilayah kecamatan Butuh. Di Dlangu Sunan Kalijaga membuat tempat ibadah dan memberi nama desa tersebut senada dengan tempat kediamannya yakni Kadilangu. Kehadiran sunan Kalijaga di tanah Bagelen ditemani oleh muridnya Ki Ageng Cakrajaya yang kemudian digelari Sunan Geseng. Di kecamatan Loano terdapat pula masjid yang konon dibangun pula oleh Sunan Geseng. Masjid Loano ini dibangun dengan 16 umpak kayu dan di lengkapi dengan lempengan baja yang dibuat lengkung sedemikian rupa guna menahan guncangan apabila terjadi gempa bumi. Masjid ini sudah pernah direnovasi. Kubah aslinya dipindahkan ke masjid Banjaran Kulon. Arti dari 16 tiang masjid hingga sekarang belum diketahui maknanya. Masjid arsitektur jawa ini telah terdiri dari dua bagian di depannya merupakan bangunan baru yang didirikan sekitar tahun 1825. Bagian utamanya menurut ceritera dibangun oleh sunan Geseng dan sekitar 100 meter dari lokasi masjid juga diceritakan merupakan lokasi tempat kediaman sunan Geseng.
Penyebaran agama islam di Jawa Tengah bagian selatan sampai dengan sungai Lukulo dilakukan oleh sunan Geseng. Sedangkan dibagian barat dilakukan oleh Syekh Baribin seorang ulama dari Pucang Kembar, sedangkan pengislaman disebelah barat Banyumas dilakukan oleh bupati Banyak Belanak dan Syekh Makduwali atas perintah Raden Patah. Namun pada masa kerajaan Demak masih pada awal perkembangannya tanah Bagelen sudah menjadi bagiannya. Menurut penduduk Bagelen tempat sunan Geseng menunging, menelungkup di atas tanah dengan berpegang teguh pada carang bambu masih terdapat bekas-bekasnya. Sedangkan sebuah masjid di Kauman Begelen konon dibangun oleh sunan Geseng, oleh karena itu masjid tersebut dinamakan masjid sunan Geseng. Sedangkan desa Kadilagu yang terletak di sebelah timur muara sungai Bagawanta mungkin erat kaitannya dengan sunan Kalijaga. Sementara itu di Kaligesing diketahui tempat petilasan di kaki gunung Wangi yang konon bekas pesantren Maulana Magribi.
Bagelen
Nama Bagelen, muncul dalam sejarah nasional sejak adanya Perjanjian Giyanti 13 Februari 1775, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti tersebut terjadi akibat dari perang saudara antara Susuhunan Paku Buwono III dengan Pangeran Mangkubumi atau Pangeran Sambernyowo yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Baik oleh Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta afdeling Bagelen tidak masuk dalam “wilayah negara”. Oleh sebab itu, afdeling tersebut dinamakan Mancanegara Kilen (sebab letaknya disebelah barat negara). Dalam perjanjian giyanti juga disebutkan Bagelen yang sebelumnya menjadi wilayah negara agung kerajaan Mataram juga dibagi menjadi dua bagian. Sebagian masuk wilayah Kasunanan Surakarta dan sebagian masuk wilayah Kasultanan Yogyakarta. Arti negara agung adalah sebuah wilayah yang banyak berisi tanah jabatan atau tanah lungguh atau tanah bengkok milik para pejabat kerajaan dan pangeran.
Seorang Belanda bernama A. Van Poel mengatakan nama Bagelen berasal dari istilah kenthol Bagelen, yaitu priyayi atau bangsawan setempat yang ada di tanah Bagelen. Menurutnya Bagelen berasal dari nama orang. Pendapat tersebut berdasarkan cerita dan data yang dikumpulkan dari para kenthol Bagelen. Dari cerita para kenthol Bagelen dahulu ada wanita bernama Roro Rengganis yang mempunyai keahlian menenun. Setelah dewasa Roro Rengganis yang masih merupakan keturunan raja dipersunting oleh Joko Awu-awu Langit yang berasal dari Gunung kelir.
Suatu hari keduanya saling marah dan bertengar. Joko Awu-awu Langit kemudian pergi dari rumah. Sepeninggal suaminya kemudian Roro Rengganis mengalami duka yang dalam, hatinya sangat pegel (dongkol). Dalam keadaan duka itu kemudian beliau pergi bertapa ke arah barat dan tidak pernah kembali. Menurut para kenthol Bagelen Roro Rengganis kemudian melakukan tapa brata, dan karena kesungguhan dalan bertapa kemudian beliau bisa muksa (hilang) bersama raganya. Sedang desa tempat tinggal Roro Rengganis karena hatinya pegal sejak mengalami kehancuran keluaganya akhirnya diberi nama “Kapegelan” yang berasal dari kata “Pegel”. Dari nama kapegelan tersebut akhirnya berubah menjadi Bagelen. Demikian juga Roro Rengganis yang sering disebut Roro Wetan disebut juga Nyai Kapegelan atau Nyai Bagelen.